UlamaHabib al-Jufri Yang Masyhur. Banyak sekali para ulama dengan Marga / Keluarga al-Jufri yang menjadi tokoh masyhur di berbagai belahan dunia. Baca Juga : Sejarah Munculnya Nasab dan Marga Assegaf. Dari luar negeri misalnya, ada Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri, sementara di dalam negeri ada Habib Idrus bin Salim Al Jufri, dari Palu.
HabibAli Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri dilahirkan di kota Jeddah, Arab Saudi tepat sebelum fajar pada hari Jumaat, 16 April 1971 bertepatan 20 Safar 1391 H, dari orang tua yang sampai pada keturunan Imam Hussein bin Ali ra.
Dandikatakan oleh sultonul ulama al habib salim assyatiri bahwa Tarim merupakan daerah istimewa ke tiga setelah makkah madinah. Atau yang terkenal di abad ini seperti sultonul ulama al habib salim assyatiri, al habib abu bakar al adni, al habib umar bin hafidz, al habib ali mashur bin hafidz, al habib ali al jufri, dlsb.
HabibAli was born in the city of Jeddah in the Kingdom of Saudi Arabia just before dawn on Friday 20th Safar 1391 AH (16th April 1971), from parents who are both descendents of Imam Hussein son of Ali, peace be upon them. • The Scholar and Educator Al-Habib Attas al-Habshi. • The Scholar Habib Abu Bakr al-Mashhur al-Adani, the author
1 Habib Ali al-Jufri memandang boleh mengucapkan selamat Natal, beliaupun akan mengucapkannya pada tanggal 25 desember mendatang, namun beliau menjelaskan bahwa mayoritas Ulama mengharamkan ucapan selamat (Tahni'ah) atas hari raya orang kafir, hanya saja menurut beliau dalam mazhab Hanbali ada 3 pendapat dalam hal ini, yaitu; Harom, Makruh
PENYAKITRIYA YANG TERSEMBUNYI|||HABIB ALI AL-JUFRI=====#habibsegafbaharun #habibsyech #habibsaggaf #habibnovelalaydrus #habibhasanbinismai
SimthudDurar ditulis oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ketika ia berusia 68 tahun. Pada hari Kamis tanggal 26 Shafar 1327 H/18 Maret 1909, Habib Ali mendiktekan paragraf awal Maulid Simthud Durar setelah memulainya dengan basmalah, yakni mulai dari al-hamdu lillahil qawiyyi sulthanuh dan seterusnya hingga wa huwa min fawqi ilmi ma qad ra
Masyarakatmengucapkan natal tana mempercayai aqidah mereka (non-muslim). Jadi secara tidak langsung Habib Ali AL-Jufri mengatakan bahwa mengucapak selamat natal kepada non-muslim itu diperbolehkan, dengan syarat hanya sebagai ucapan, dan tidak ikut mengakui aqidah yang mereka percayai. Pendapat pribadi saya sendiri, kita tidak usah
SoalPerdebatan Natal, Habib Ali Al-Jufri: Jangan Saling Menghujat Kamis 12 Desember 2019 18:30 WIB Habib Ali Al-Jufri. Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri meminta agar tidak berbuat saling menghujat satu sama lain yang berbeda pandangan dalam hal ucapan selamat natal. "Jangan kita saling menyalahkan menghujat satu sama lain," katanya dalam
KuatkanAkidahmu,,!!,, Ulama Sepakat,, Haram Mengucapkan Selamat Natal ..??..Dalam perkataan Ibnul Qoyyim Rahimahullah sebagai berikut :Banyak orang yang kur
t0rQrf. Jakarta, NU Online Saban Desember, perdebatan mengenai ucapan selamat natal selalu mengemuka. Satu pihak melarang, kelompok lain membolehkan. Keduanya saling bersikukuh mempertahankan pendapatnya masing-masing. Bahkan tak jarang menyangsikan pendapat lawannya dan berujung pada saling lempar makian. Melihat perkara demikian, Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri meminta agar tidak berbuat saling menghujat satu sama lain yang berbeda pandangan dalam hal ucapan selamat natal. "Jangan kita saling menyalahkan menghujat satu sama lain," katanya dalam suatu majelis. Pasalnya, ucapan tahniah Natal merupakan persoalan khilafiyah, bukan hal yang menjadi suatu kesepakatan atas keharaman atau kebolehannya. Masing-masing memiliki dasar argumentasinya. Memang, jelasnya, sebagian besar ulama Ahlussunnah wal Jamaah menyebut haram hukum mengucapkan selamat natal kepada Nasrani. Namun, Habib Ali sendiri berpegang teguh pada pandangan yang membolehkan pengucapan tahniah kepada mereka. Bahkan, ia akan mengucapkan hal tersebut pada tanggal 25 Desember nanti. "Dan saya akan mengucapkan kepada mereka pada tgl 25 nanti," katanya. Bagi yang menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang diharamkan, Habib Ali meminta tinggal tidak melakukannya saja atau meninggalkan hal tersebut saja tanpa harus memperdebatkan mereka yang melakukannya. Habib Ali membantah pernyataan Ibnul Qayyim yang mengklaim bahwa haram mengucapkan selamat natal itu ijmak para ulama. Pasalnya, dalam mazhab Hambali sendiri yang diikuti oleh Imam Ibnul Qayyim, terdapat tiga pandangan, yakni boleh, makruh, dan haram sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Mardawi dalam kitabnya Al-Inshaf. Artinya, perbedaan pandangan terhadap hal tersebut merupakan sesuatu yang kuat, muktabar. "Tidak boleh kita mengingkari suatu perkara dimana disitu khilafnya muktabar," tegasnya. Habib Ali menjelaskan bahwa larangan ucapan selamat natal karena ada unsur mengandung persetujuan terhadap kekafiran atau keyakinan mereka umat Nasrani. Ia menegaskan bahwa pandangan demikian adalah pemahaman orang dahulu. "Di masa itu orang yang menyatakan selamat mengakui merestui akidah keyakinan itu," katanya. Tentu saja, katanya kalau kita menyatakan selamat kepada mereka dengan hati kita merestui kekafiran maka itu kufur. Namun pengucapan selamat di masa kini tidak demikian. Seorang Muslim, misalnya, menyatakan ke Kristiani setiap tahun bertambah baik. Hal demikian tentuk bukanlah suatu bentuk pengakuan terhadap akidah yang berlainan. Hal demikian tidak saja berlaku di Eropa, tapi juga di negeri lainnya. Mesir, misalnya. Uskup di sana mengucapkan selamat Maulid Nabi kepada Syekh Al-Azhar. Hal ini, menurutnya, bukan berarti Uskup tersebut mengakui kenabian Muhammad SAW. "Ucapan selamat di masa kita bukan mengakui akidah mereka. Ucapan selamat di masa kita sebagai bentuk kebajikan," katanya. Sebab, Allah SWT sudah berfirman bahwa Ia tidak melarang kepada kita berbuat baik terhadap orang kafir. Lebih dari sekadar mengucapkan selamat natal, Mazhab Syafi’i membolehkan seorang Muslim laki-laki menikahi perempuan Kitabiyah. Di antara hak istri adalah mendapatkan pengantaran suami untuk beribadah di gereja. Habib Ali menegaskan bahwa mengucapkan selamat natal itu boleh dilakukan. Hal ini juga disampaikan oleh Syekh Al-Azhar dan Darul Ifta Mesir, juga Syekh Abdullah bin Bayah, serta banyak ulama lainnya. Editor Fathoni Ahmad